MENINGKATKAN PERAN GURU SEBAGAI AGENT OF CHANGE PEMBELAJARAN SISWA *)
September 16, 2009 by drarifin
i
Rate This
Quantcast
Oleh: Dr. ARIFIN, M.Si.
(Guru Sosiologi SMA Islam Malang,
dan Dosen FISIP Universitas Brawijaya Malang)
Pendahuluan
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi membawa pengaruh perubahan yang luar biasa terhadap pola kehidupan ummat manusia di belahan bumi ini. Terjadi transformasi budaya pada seluruh sendi kehidupan masyarakat, sehingga perubahan demi perubahan terus terjadi baik pada ranah kompleks ide, kompleks kelakuan berpola, dan kompleks sistem teknologi (Koentjaraningrat, 1982; Sztompka. 2004). Disamping itu era globalisasi yang ditandai dengan transformasi informasi-tehnologi (IT) mengkondisi proses-proses kehidupan di berbagai bidang berada pada arus high competition yang begitu cepat dan mendasar dengan membawa beragam resiko kehidupan (Giddens, A.. 2001). Perubahan fenomena kehidupan terkini tersebut, ditangkap oleh pemerintah Indonesia dengan melakukan perubahan pada orientasi pembangunan nasional, yaitu dari lebih menekankan pada orientasi economic recource development, bergeser untuk mulai memperhatikan ke human resource development. Khususnya dibidang pendidikan pemerintah telah menyusun Undang Undang No. 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS, yang kemudian dijabarkan dalam PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Dalam rangka meningkatkan kualitas guru dan dosen, disusun pula Undang Undang No. 14 tahun 2005 tenang Guru dan Dosen, selanjutnya dikeluarkan Permendiknas No. 16 tahun 2007 tentang standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru, dan beberapa produk hukum lainnya. yang berkaitan dengan upaya pemerintah dalam mereformasi pembangunan bidang pendidikan. Semua produk hukum yang berkaitan dengan pendidikan tersebut pada dasarnya merupakan realitas teoritik (das sollen ) tentang komitmen pemerintah untuk memajukan sistem pendidikan nasional.
Persoalannya adalah, apa yang tersaji dalam realitas sehari-hari di lapangan (das sain), khususnya tentang kemampuan profesional guru masih belum terberdayakan secara maksimal, sehingga dari aspek pendidik banyak kendala yang muncul di lapangan dalam mengimplementasikan beragam peraturan tersebut (Depdiknas, 2006). Dalam dua tahun terakhir (sejak 2006) pemerintah telah memulai melakukan program sertifikasi guru, dan salah satu tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas profesional guru. Uraian tersebut di atas menunjukkan bahwa proses pembangunan pendidikan di Indonesia masih dihadapkan pada persoalan yaitu, adanya kesenjangan antara realitas teoritik (das sollen ) dengan realitas emipirik (das sain) dalam proses kualitas layanan pendidikan di setiap satuan pendidikan, hal inilah yang mendorong penulis untuk melakukan analisis kajian deskriptif kualitatif, dengan fokus kajian tentang: Apa yang menjadi orientasi teoritik tentang agent of change?; (b) Bagaimana fungsi atau peran guru sebagai agent of change pembelajaran di kelas?; dan (c) Bagaimana langkah strategis dalam meningkatkan peran guru sebagai agent of change pembelajaran?.
Tujuan analisis ini adalah ingin memberikan beberapa alternatif pemikiran pada para guru dalam meningkatkan peran mereka sebagai agen perubahan (agent of change) pembelajaran siswa di sekolah.
Orientasi Teoritik Tentang Agent of Change
Hakikat pembelajaran adalah ’suatu proses perubahan tingkah laku anak’ (Wuryani, 2002; Sagala, S. 2006), yaitu perubahan dari tidak baik menjadi baik, dari tidak bisa mengerjakan sesuatu menjadi bisa mengerjakan sesuatu. Persoalan yang muncul adalah, faktor apakah yang paling menentukan bagi setiap individu mampu melakukan suatu perubahan dalam hidupnya?. Beragam teori telah dikemukakan oleh para ahli untuk menjawab persoalan tersebut, baik teori-teori yang berorientasi pada paham positivisme maupun idealisme (Lauer, R., 1978). Dalam analisis kajian ini, penulis lebih menekankan pada teori-teori yang berorientasi pada pandangan idealisme atau konstruktivisme, yang menempatkan faktor pikiran dan jiwa individu sebagai penentu terjadinya perubahan sosial-budaya (Sztompka. 2004), sedangkan teori-teori yang berorientasi positivis tidak dijelaskan atau tidak dijadikan sebagai orientasi dalam kajian ini. Diantara teori yang berorientasi idealisme dalam memandang makna, penyebab dan agen pendorong perubahan sosial-budaya adalah: Pertama, teori ’kepribadian kreatif’ oleh Everette Hagen. Diantara asumsi dasar teori ini adalah: (a) faktor kunci terjadinya perubahan sosial-budaya ditentukan oleh kondisi psikologi atau kepribadian kreatif individu; (b) kepribadin individu yang selalu mendorong ke arah perubahan adalah kepribadian kreatif atau inovatif; dan (c) ciri kepribadian kreatif atau inovatif adalah menjunjung tinggi pengetahuan, otonomi, keteraturan hidup, humanis dan disiplin nurani serta tegas atau adil (Hagen, E., 1962). Jadi, menurut teori ini faktor kunci terjadinya perubahan sosial-budaya, termasuk aspek pembelajaran budaya di sekolah adalah berkembangnya kepribadian kreatif pada diri warga sekolah (pendidik, tenaga kependidikan dan siswa).
Kedua, teori ‘kebutuhan berprestasi’ yang dikenal ‘need for achievement atau n-Ach’ oleh David Mc. Cleeland. Diantara asumsi pokok teori ini adalah: (a) faktor utama penyebab terjadinya perubahan sosial-budaya adalah adanya dorongan dari dalam individu (pikiran dan jiwanya) untuk berkarya secara maksimal; (b) sikap mental selalu ingin berkarya (semangat berprestasi menjadi kebutuhan dasar hidupnya) yang berkembang di masyarakat akan menjadi penyebab perubahan kearah kemajuan; dan (c) mentalitas n-Ach tersebut harus terus ditanamkan sejak masa kanak-kanak (Mc-Clelland, D., 1961). Jadi, sejatinya yang menjadi dasar penyebab atau agen perubahan adalah faktor kualitas mental seseorang untuk selalu ingin berkarya dan berprestasi sepanjang usia hidupnya, kebutuhan untuk berkarya bagaikan darah yang mengalir dalam tubuh.
Ketiga, teori ‘mentalitas modern’ oleh Alex Inkeles dan David Smith. Diantara ciri mentalitas modern yang mendorong terjadinya perubahan adalah: cinta pada perkembangan Iptek; selalu menjalin kontak dengan pihak lain; mentalitas kompetitif dan inovatif; orientasi hidup ke masa depan dan menghargai harkat martabat orang lain (Budiman, A,. 1995 ). Berdasarkan ketiga teori tersebut dapat disimpulkan, bahwa yang menjadi agen perubahan (agent of change) dalam proses kehidupan adalah para individu yang mempunyai kualitas jiwa, pikiran atau mentalitas positif dalam proses-proses sosialnya.
Diantara sikap mental positif yang akan menjadi penggerak perubahan sosial budaya antara lain: (a) cinta pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; (b) selalu menjalin kontak-komunikasi dengan orang lain atau dunia luar; (c) menjunjung tinggi prestasi orang lain dan pandangan karya untuk karya; (d) menghargai harkat dan martabat orang lain atau bersikap demokratis-humanis; (e) menghargai waktu dan berorientasi hidup ke masa depan; (f) melakukan sesuatu pekerjaan berdasarkan perencanaan yang matang; (g) merasa tidak puas terhadap karya budaya yang telah ada, dan selalu ingin membaharuhi hidup; dan (h) menjunjung tinggi nilai atau prinsip, bahwa upah sesuai dengan karya (Budiman, A,. 1995; Sztompka. 2004). Jadi, ketika seseorang memiliki ciri-ciri: kepribadian kreatif, mentalitas untuk berprestasi, dan mentalitas modern tersebut di atas, maka dia akan mampu berperan sebagai agen perubahan (agent of change) dalam kehidupan kelompoknya (Lauer, R., 1978).
Guru Sebagai Agent of Change Pembelajaran Siswa
Dalam Undang Undang No. 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS dan Undang Undang No.14 tahun 2006 tentang Guru dan Dosen, bahwa kedudukan, peran dan fungsi guru sangat sentral dalam membangun kualitas pendidikan nasional. Merujuk pada beberapa peraturan perundangan bidang pendidikan tersebut di atas, baik berupa Undang Undang, Peraturan Pemerintah sampai Permendiknas, pada era sekarang dan akan datang setiap guru harus memiliki empat kompetensi dasar, yaitu: (1) Kompetensi pedagogik, meliputi: (a) kemampuan memahami peserta didik; (b) kemampuan memahami prinsip pembelajaran; (c) kemampuan melaksanakan prinsip pembelajaran; (d) kemampuan merancang dan melaksanakan evaluasi pembelajaran; dan (e) kemampuan mengembangkan potensi peserta didik; (2) Kompetensi kepribadian, meliputi: (a) kemampuan bertindak sesuai nilai dan norma kehidupan; (b) konsisten membangun sikap mental positif; (c) menjunjung tinggi prinsip kemaslahatan hidup; dan (d) kemampuan mewujudkan akhlak mulia; (3) Kompetensi sosial, meliputi: (a) kemampuan menjalin interaksi sosial dengan peserta didik; (b) kemampuan menjalin interaksi sosial dengan sesama guru; (c) kemampuan menjalin interaksi sosial dengan tenaga kependidikan; (d) kemampuan menjalin interaksi sosial dengan orang tua/ wali siswa; dan (e) kemampuan menjalin interaksi sosial dengan warga masyarakat; (4) Kompetensi profesional, meliputi: (a) kemampuan penguasaan materi pembelajaran; (b) kemampuan menerapkan konsep-konsep keilmuan dengan kehidupan sehari-hari; dan (c) kemampuan dalam membuat karya ilmiah tenang pendidikan.
Menyimak beragam teori tentang agen perubahan yang telah diuraikan di atas, kemudian dikomperasikan dengan beragam kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap guru, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah: (a) guru termasuk salah satu faktor kunci dalam menentukan kualitas dan keberhasilan proses pembelajaran siswa di kelas; (b) guru yang memiliki kualitas kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan professional, akan mampu berperan sebagai salah satu agen perubahan (agent of change) pembelajaran siswa di kelas; dan (c) guru diharapkan tetap konsisten dalam mengajar, membimbing dan mendidik siswa untuk mengembangkan kualitas intelektual, emosional dan spiritualnya dengan prinsip tut wuri handayani, ing madya mangun karsa, ing ngarso sung tulodo.
Menurut Chin dan Benne dalam Lauer, R., (1978), ada tiga metode yang dapat digunakan oleh agent of change dalam mendorong atau mempengaruhi terjadinya perubahan sosial budaya, yaitu: (1) metode rasional–empiris; (2) metode normatif–edukatif; dan (3) metode paksaan–kekuasaan. Apabila mencermati paradigma pembelajaran dan sistem evaluasi yang dikembangkan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), maka motode yang dapat digunakan oleh guru sebagai agen perubahan (agent of change) dalam mendorong terjadinya perubahan kualitas pembelajaran siswa di kelas adalah metode pertama (metode rasional–empiris) dipadukan dengan metode kedua (metode normatif–edukatif) (Depdiknas. 2003; BSNP, 2006)
Strategi Meningkatkan Peran Guru Sebagai Agent of Change
Sebagaimana yang telah disinggung di atas, bahwa kondisi kualitas guru di Indonesia secara makro masih belum terberdayakan secara maksimal, dan diantara faktor kunci penyebabnya adalah kondisi mentalitas, motivasi atau dorongon internal guru untuk terus belajar, berinovasi dalam pembelajaran dan terus mengikuti perkembangan Iptek terkini masih relatif rendah (Oemar, H., 2002; Tilaar, 2002; Wahab, A.A., 2007). Beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan dalam meningkatkan peran guru sebagai agen perubahan (agent of change) pembelajaran siswa di kelas antara lain: Pertama, membangun kualitas mentalitas positif guru melalui kegiatan pelatihan ’motivasi berprestasi’ dan sejenisnya secara periodik, misalnya pembinaan dan pelatihan ESQ. Meskipun setiap guru secara teoritik telah mengetahui sebagian teori-teori psikologi pembelajaran, dia tetap memerlukan penyegaran orientasi dan wawasan hidup prospektif dari para pakar psikologi atau para motivator dalam menghadapi beragam persoalan pekerjaan sebagai pendidik. Dalam hal ini fokus pelatihan lebih ditekankan pada upaya membangun konsistensi diri sebagai pendidik sepanjang karir profesinya untuk mengembangkan tentang: (a) prinsip selalu belajar (learning principle); (b) prinsip kebutuhan untuk berprestasi (need achievement principle); (c) prinsip kepemimpinan (leadership principle); prinsip orientasi hidup ke depan (vision principle); dan (d) prinsip menjadi pencerah dalam kehidupan kelompok (well organized principle) (Agustian, A.G. 2005; Seligman, M. 2005). Ketika lima prinsip tersebut terinternalisasi dengan baik pada diri setiap guru, maka guru tersebut akan mampu bertindak sebagai agent of change pembelajaran peserta didik, baik pada aspek emosional, kepribadian dan pengetahuan-ketrampilan peserta didik. Demikian juga sebaliknya, ketika kelima prinsip tersebut tidak menyatu dan tidak berkembang pada diri setiap guru, maka kehadiran guru di kelas hakikatnya kurang berfungsi dalam menyiapkan peserta didik untuk menghadapi beragam tantangan hidup di era globalisasi.
Kedua, menyikapi kondisi guru yang masih belum memahami beragam inovasi pembelajaran dan arti pentingnya pemanfaatan kemajuan teknologi pembelajaran, maka strategi yang dapat dilakukan adalah setiap satuan pendidikan harus mempunyai ’tim ahli inovasi pembelajaran’. Beberapa aktivitas yang dapat dilakukan oleh tim ahli inovasi pembelajaran dalam meningkatkan kualitas guru adalah: (a) melakukan diskusi kolegial tentang pengembangan penguasaan konsep-konsep keilmuan dan perkembangan teknologi terkini; (b) melakukan penyusunan soal-soal sesuai dengan standar kompetensi kelulusan BSNP; (c) melakukan penyusunan bahan ajar atau modul dan melakukan pelatihan penggunaan multi media berbasisi IT; (d) melakukan kegiatan penelitian tindakan kelas; (e) melibatkan guru dalam proses evaluasi diri sekolah (school self evaluation); dan (f) memberikan masukan atau diskusi kolegial tentang penerapan metode pembelajaran yang menegakkan pilar-pilar pembelajaran, yaitu: learning to know (belajar mengetahui), learning to do (belajar berbuat), learning to gether (belajar hidup bersama), dan learning to be (belajar menjadi seseorang) (Djohar, 1999). Ketika ’tim inovasi pembelajaran’ di setiap satuan pendidikan mampu melaksanakan keenam fungsi tersebut dengan baik dalam pemberdayaan kemampuan guru, maka setiap guru diasumsikan mampu berperan sebagai agent of change pembelajaran siswa di sekolah.
Ketiga, membangun mentalitas kerjasama sebagai team work yang kokoh. Semua guru pada satuan pendidikan dalam proses layanan pendidikan harus menyatu bagaikan satu bangunan kokoh (kesatuan sistem). Proses interaksi dissosiatif sesama pendidik dalam pemberian layanan pendidikan harus diminimalisir (Usman, M.U., 2000; Sanjaya, W. 2007). Oleh karena itu, dalam konteks pemberian layanan pembelajaran di satuan pendidikan yang berkualitas, seharunya setiap guru senantiasa belajar untuk memajukan satuan pendidikannya melalui enam konsep yaitu: (1) system thinking; (2) mental models; (3) personal mastery; (d) team learning and teaching; (e) shared vision; dan (6) dialog (Peter dalam Soetrisno, 2002). Dalam membangun kualitas mental guru sebagai suatu team work untuk melaksanakan keenam konsep tersebut, kedudukan dan peran kepala sekolah adalah sangat sentral. Kepala sekolah harus mampu memainkan peran baru (new rules), ketrampilan baru (new skills), dan mampu mengaplikasikan sarana baru dari permasalahan yang timbul (new tools). Kepala sekolah harus: (a) berperan sebagai perancang (designer) kebijakan strategis terhadap aplikasi keenam konsep tersebut; (b) berfikir integral dalam mencermati tantangan pendidikan ke depan (visioner).; (c) mampu membangkitkan learning organization; (d) mendorong setiap guru untuk mengembangkan potensi profesinya secara maksimal; dan (e) terbuka pada kritik dan saran yang konstruktif; transparan dan tanggungjawab dalam pengelolaan sumber daya sekolah (Arifin, 2007). Ketika guru pada setiap satuan pendidikan mampu menjalin kerjasama dalam mewujudkan keenam konsep tersebut, diasumsikan mereka akan mampu berperan sebagai agent of change pembelajaran siswa di sekolah dengan baik. Pakar psikologi Seligman, M. (2005), mengatakan ’ketika individu mampu membangun mentalitas positif, misalnya sanggup menjalin komunikasi humanis di setiap kehidupan kelompok, maka individu tersebut akan mampu meraih kebahagiaan dan keberhasilan puncak dalam hidupnya’.
Keempat. Dinas Pendidikan Kota atau Kabupaten, melalui pengawas sekolah terus melakukan pemantauan atau pembinaan terhadap kinerja guru dalam mengimplementasikan empat kompetensi dasar guru profesional. Ada beberapa persyaratan yang harus dimiliki oleh pengawas dalam proses pembinaan kinerja profesional guru agar mampu menjadi salah satu agent of change pembelajaran di sekolah, yaitu sosok pribadi seorang pengawas sebagai pembina kinerja guru profesional harus betul-betul berkualitas, antara lain: (a) seorang pengawas harus paham secara teoritis dan aplikatif tentang beragam teori psikologi pembelajaran; (b) seorang pengawas harus berwawasan integral, demokratik, visioner dan mempunyai keunggulan IESQ; (c) seorang pengawas harus punya kemampuan multi, baik menyangkut disiplin keilmuan tertentu, managerial, komunikator/ motivator, dan humanis; (d) seorang pengawas harus menguasai secara konseptual dan aplikatif tentang research pendidikan dengan beragam strategi atau pendekatan research; dan kemampuan lainnya sesuai dengan statusnya sebagai pengawas sekolah.
Diantara langkah yang dapat dilakukan pengawas dalam proses pembinaan kualitas profesional guru sebagai agen perubahan pembelajaran di kelas antara lain: (a) membuat instrumen pemantauan kinerja guru profesional, yang memuat empat standar kompetensi (pedagogik, kepribadian, sosial dan profesional) dan masing-masing kompetensi tersebut dijabarkan secara rinci kedalam beberapa indikator yang terukur. Instrumen tersebut harus disosialisasikan sejak dini pada semua guru untuk dipahami dan dilaksanakan; (b) pelaksanaan pemantauan instrumen kinerja guru profesional tersebut dilakukan secara ‘silang proporsional’, yang melibatkan pengawas, kepala sekolah dan teman sejawat (guru) serta peserta didik (siswa); dan (c) pada akhir tahun pelajaran dilakukan evaluasi yang melibatkan pengawas, kepala sekolah dan guru yang bersangkutan secara ‘bijak’, artinya baik pengawas, kepala sekolah maupun guru sama-sama melakukan refleksi atau instropeksi tentang optimalisasi kinerja sesuai dengan instrumen standar kompetensi yang telah disusun. Ketika proses pembinaan kualitas kinerja guru berjalan dengan baik, kemudian diikuti dengan peningkatan kualitas kinerja guru berdasarkan instrumen-instrumen kompetensi profesional, maka diasumsikan guru tersebut akan mampu berperan dalam peningkatan kualitas pembelajaran siswa di kelas (Nasution, 2006; Wahab, A.A., 2007; Hamzah.B.U., 2008), hal ini secara otomatis menunjukkan bahwa guru mampu berperan secara positif sebagai salah satu agent of change pembelajaran di sekolah.
Kelima, dalam rangka memudahkan aktivitas guru untuk mewujudkan beragam kompetensi profesinya, maka pemerintah dan warga masyarakat harus tetap punya komitmen dalam penyediaan sarana dan prasarana pembelajaran dengan baik, karena ketersediaan sarana dan prasarana pembelajaran secara baik akan mampu meningkatkan kualitas proses pembelajaran siswa di sekolah (Atmadi, ed., 2000; Supriadi, D. 2004). Disamping penyediaan sarana dan prasarana pembelajaran di sekolah secara baik dan lengkap, pemerintah harus tetap konsisten dalam mengupayakan peningkatan kualitas kesejahteraan guru. Untuk merealisaikan dua hal tersebut pemerintah melalui Menteri Pendidikan Nasional telah mengeluarkan: (a) Permendiknas nomor 24 tahun 2007 tentang Standar sarana dan prasarana; (b) Permendiknas Nomor 18 tahun 2007 tentang Sertifikasi bagi guru dalam jabatan; (b) Permendiknas Nomor 40 tahun 2007, tentang Sertifikasi guru dalam jabatan melalui jalur pendidikan. Ketika sarana dan prasarana pembelajaran tersedia dengan baik, kesejahteraan guru terjamin dan diikuti dengan tumbuhnya sikap mental positif pada diri setiap guru sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka diasumsikan guru akan mampu meningkatkan kualitas profesionalnya (Soetjipto dan Kosasi, 1999; Usman, M.U., 2000), sehingga guru akan mampu berperan sebagai agen perubahan (agent of change) pembelajaran siswa di sekolah.
Sebagaimana yang telah diurakan di atas, pada hakikatnya potret seorang guru yang mampu berperan aktif sebagai agen perubahan pembelajaran siswa di kelas, antara lain: (a) mempunyai wawasan yang cukup luas tentang beragam teori psikologi perkembangan atau teori pembelajaran, dan mampu menerapkan secara ‘bijak’ dalam proses pembelajaran di kelas; (b) mempunyai sikap mental positif terhadap perkembangan Iptek dan selalu berusaha mewujudkan proses pembelajaran di kelas dengan nuansa demokratik, humanis dan multikultural; (c) selalu menjadi contoh teladan terbaik bagi anak dalam segala pola aktivitas hidupnya, baik menyangkut aspek mentalitas, aspek pola prilaku sehari-hari dan pola berpakaian; (d) selalu melakukan pemantauan perkembangn hasil belajar siswa dengan menggunakan sistem evaluasi yang baik dan integral yang menyangkut tujuh aspek yaitu: penilaian unjuk kerja (performance), penilaian sikap (afektif), penilaian tertulis (paper and pencil test), penilaian proyek, penilaian produk, penilaian melalui kumpulan hasil karya siswa (potofolio) dan penilaian diri (self assessment); dan (e) selalu berusaha meningkatkan kualitas diri dalam membuat karya tulis ilmiah yang berkaitan langsung dengan inovasi pembelajaran.
Kesimpulan
Analisis deskriptif kualitatif tentang ’Strategi Meningkatkan Peran Guru Sebagai Agent of Change Pembelajaran Siswa’ tersebut di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: (1) terdapat beragam paradigma atau teori yang memandang tentang faktor kunci pendorong terjadinya perubahan sosial budaya di masyarakat. Keberagaman paradigma atau teori tersebut disebabkan oleh keberagaman orientasi filosofis dalam memahami hakikat sesuatu; (2) ketika guru mampu meningkatkan kualitas kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan profesionalnya secara maksimal, diasumsikan guru tersebut akan mampu menjadi salah satu agent of change pembelajaran siswa di kelas dengan baik; dan (3) diantara langkah strategis dalam meningkatkan peran guru sebagai salah satu agent of change pembelajaran siswa di sekolah adalah: (a) membangun kualitas mentalitas positif setiap guru; (b) melalui ’tim inovasi pembelajaran’ di setiap satuan pendidikan, guru dilibatkan secara aktif-kreatif dalam mengembangkan kemampuan prefesionalnya; (c) membangun kerjasama sebagai team work dalam memajukan satuan pendidikan melalui enam konsep; (d) pengawas sekolah melakukan pembinaan secara inten dan sistematis tentang pengembangan kualitas profesional guru; dan (e) meningkatkan kualitas sarana parasarana pembelajaran di sekolah dan meningkatkan kesejahteraan guru.
DAFTAR PUSTAKA
Agustian, Ary G. 2005. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosional dan Spiritual (ESQ). Penerbit ARGA. Jakarta.
Arifin, 2007. “Problematika SDM “Guru” Dalam Penerapan KTSP (Sebuah Renungan mencari jalan keluar)”. Jurnal, Media, Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Timur. No. 08 /Th.XXXVII / Oktober 2007. hal: 62-65.
Atmadi, (ed). 2000. Transformasi Pendidikan Memasuki Milenium. Kanisius dan Unversitas Sanata Dharma. Yokyakarta.
BSNP, 2006. Standar Isi. Badan Standar Nasional Pendidikan, Jakarta.
Budiman, A,. 1995. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Depdiknas. 2003. Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning). Dirjen Dikdasmen. Jakarta (Makalah tidak diterbitkan).
Djohar, 1999. Reformasi dan Masa Depan Pendidikan di Indonesia. IKIP. Yogyakarta
Giddens, A.. 2001. Runway World. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Hagen, E. 1962. On the Theory of Social Change. Homewood, Dorsey Press.
Hamzah.B.U., 2008. Model Pembelajaran. Menciptakan Proses Belajar Mengajar Yang Kreatif dan Efektif. PT. Bumi Aksara. Jakarta
Koentjaraningrat, 1982. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. PT. Gramedia. Jakarta.
Lauer, R.H. 1978. Perspectives on Social Change, 2nd edition. Allyn and Bacon. Inc. Boston.
Mc-Clelland, D., 1961. The Achieving Society. New York, Rree Press.
Nasution, 2006. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar. PT. Bumi Aksara, Jakarta.
Oemar Hamalik. 2002. Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi. Bumi Aksara. Jakarta.
Sagala, S. 2006. Konsep dan Makna Pembelajaran (Untuk membantu memecahkan problematika belajar dan mengajar) Penerbit Alfabeta. Bandung
Sanjaya, W. 2007. Strategi Pembelajaran, Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Penerbit Kencana Prenada Media Group. Jakarta.
Seligman, Marttin.E.P. 2005. Authentic Happiness: Using the New Positive Psychology to Realize Your Potential For Lasting Fulfillment. Penerjemah. Eva Yulis. Authentic Happiness, Menciptakan Kebahagiaan dengan Psikologi Positif. PT. Mizan Pustaka. Bandung
Soetjipto dan Kosasi R. 1999. Profesi Keguruan. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.
Supriadi, D. 2004. Satuan Biaya Pendididkan Dasar dan Menengah. Rujukan bagi Penetapan Kebijakan Pembiayaan Pendidikan pada Era Otonomi dan Manajemen Berbasis Sekolah. PT. Remaja Rosda Karya. Bandung
Sztompka. 2004. The Sociology of Social Change. Diterjemahkan Alimandan. Sosiologi Perubahan Sosial. Prenada Media. Jakarta.
Tilaar, 2002. Membenahi Pendidikan Nasional. Rineka Cipta. Jakarta.
Usman, M.U., 2000. Menjadi Guru Profesional. PT. Remaja Rosda Karya. Bandung
Wahab, A.A., 2007. Metode dan Model-Model Mengajar Ilmu Pengetahuan Sosial. Alfabeta. Bandung
Wuryani, S.E.D, 2002. Psikologi Pendidikan. PT. Gramedia Indonesia. Jakarta.
*) Artikel Juara ke I, Lomba LKTI Tingkat Regional (Jawa Timur) di Majalah Media Pendidikan, Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Timur 2009.
Tempat untuk berdiskusi, berbagi pengetahuan dan pengalaman demi untuk peningkatan mutu pendidikan kita semua
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Days in my Life Slideshow: M-iqbal’s trip from Jakarta, Jawa, Indonesia to Singapura was created by TripAdvisor. See another Singapura slideshow. Create a free from your travel photos.
Sweet Moment in K-106, Unj-2012 Slideshow: Kelas’s trip to Jakarta was created with TripAdvisor TripWow!
Todays News






my picture

my son
Tidak ada komentar:
Posting Komentar